Berkawan Hujan

Dan sore itu akhirnya kuputuskan untuk tidak memakai mantel. Kubiarkan setiap tetes airnya membasahi wajah, tangan, kaki dan perlahan membasahi lapisan terdalam bajuku. Kupenuhi ruang paru-paru ini dengan wangi kayu basah yang berasal dari pohon cemara. Kuhisap dalam-dalam aroma khas tanah basah meski di dalamnya mengandung asap dari bakaran limbah manusia.
Hujan terus mengguyur kota ini, membasahi setiap sudutnya dan membuat setiap jantung yang berdetak di dalamnya berlari tunggang langgang mencari perlindungan. Dari yang terbesar hingga yang terkecil semua sibuk membuat badannya tetap kering.
Sementara itu, dari dataran tinggi tempat semua peluh dan keluh berkumpul, kunikmati hujan pertama musim kemarau ini dengan tanpa mantel. Setiap detik yang kurasakan di dalamnya membawaku pada suasana lembab dan kebas.
Rintik hujan yang semula seperti penyakit yang datang mengancam dengan dingin yang ditawarkannya kini berubah menjadi sahabat, kawan lama yang sudah lama tidak kujumpai dalam hari-hariku yang monoton. Seorang kawan lama yang menjumpaiku dengan wajahnya yang bersahabat, menyapaku dan memberikan sejuta euforia yang dulu pernah kurasakan.
Suasana ini, kelembapan ini benar-benar menghilangkan ruang dan waktu. Segalanya seperti berputar, kecuali aku. Dan ketika perputaran itu berhenti, ruang dan waktukupun berganti. Apa yang tadinya sangat ingin kurasakan kembali kini telah nyata di hadapanku. Suaranya, aroma tubuhnya, gelak tawanya bahkan sayup-sayup kudengar lagu favoritnya "You're beautiful, it's true..I saw your face, in a crowded place, and I don't know what to do, coz I'll never be with you.." dan ia juga ikut mendendangkan lagu itu. Suaranya tepat berada di belakangku. Ingin sekali aku menoleh ke belakang memastikan bahwa ini semua bukan halusinasi.
Hujan semakin deras, badanku menggigil kedinginan tapi suara itu tetap ada dan menghangatkanku. Sejenak kuputuskan untuk tidak memedulikan apakah ini nyata atau halusinasi. Kunikmati euforia batin yang menyenangkan ini sambil menikmati lukisan kehidupan di sekitarku. Jingkat kaki remaja tanggung, pria setengah baya yang tetap mengayuh pedal becaknya meski hujan tetap mengguyur dan sepasang kekasih yang saling melindungi.
Pemandangan itu?! Tiba-tiba aku ingat bahwa aku harus menoleh ke belakang, mencari sumber suaranya, menemukan dirinya dan mengingatkannya bahwa hujan semakin lebat dan mengajaknya untuk berlindung.
Belum sampai kubalikkan badan seluruhnya, kurasakan hujan menyerangku dari segala arah dan mengembalikanku pada keadaan semula, tanpa suaranya, tanpa aroma tubuhnya, tanpa lagu itu.
Cinta teramat dalam yang pernah melingkupiku, melindungiku, menghangatkanku kini telah mengalir, tidak lagi ada padaku. Cinta itu kini telah menemukan jalannya sendiri, mengalir, membasahi jiwa yang kering hingga pada akhirnya bermuara pada satu tempat.
Cinta itu tidak mati, dia terus mengalir hingga saatnya nanti akan kembali padaku dengan membawa berkatnya. Seperti air yang terus mengalir hingga bermuara ke samudera, menguap dan akhirnya kembali dalam bentuk hujan yang memberkati bumi dan membasahiku. :)

Komentar

Postingan Populer