Konsistensi? Makanan apa itu?

Satu hal yang tidak pernah saya duga akan saya temui ketika memiliki anak adalah konsistensi. Ga nyangka aja bahwa kelemahan terbesar saya akan disajikan dalam bentuk seperti ini untuk mau tidak mau saya hadapi. Saya menganggap konsistensi ini adalah sikap yang kaku, ga spontan, ga fleksibel dan ga asik. Karena saya cenderung lebih suka yang berbau hipster, spontan dan penuh improvisasi dalam menjalani hidup (catatan: saat itu ketika masih single).

Hingga ketika anak sudah mulai mengerti akan situasi, kondisi dan lingkungan di sekitarnya, saya jadi tahu, konsistensi itu mahal harganya. Perlu latihan bertahun tahun untuk menjadikan itu sebagai karakter dan nilai hidup.
Oleh karena itu, saya kebingungan ketika aturan-aturan yang terkait dengan pola asuh yang baik mulai saya terapkan, saya belum siap. Karena saya belum bisa sekonsisten itu.

Seperti misalnya melatih anak untuk bisa bangun pagi. Saya sendiri kesulitan untuk bangun pagi, sebagai orang yang betah melek hingga larut malam, rasanya menyiksa sekali bangun pagi itu. Tapi saya selalu minta supaya Nathan bisa bangun pagi, bisa dibayangkan pergulatan saya setiap pagi :)
Tapi kemudian mengingat kembali tujuan saya melatih anak untuk bangun pagi supaya nanti ketika dia masuk sekolah tidak terlalu banyak drama pagi, jadi yaa, mau ga mau dengan mata berat saya jadi paksakan diri untuk bangun sebelum jam 6.

Hal lain yang sangat ingin saya tanamkan sejak dini adalah tentang menghargai orang lain. Sopan terhadap orang lain, yang lebih tua terutama. Salim, sapa dan senyum. Itu kan bentuk dasar orang menghargai orang lain. Pernah lihat ada remaja yang ketika diajak bicara ia tidak memperhatikan yang mengajak bicara. Asik main hp Itu kan nyebelin ya? Nah saya ga mau anak saya seperti itu. Tapi apa yang terjadi? Ga jarang saya kelepasan, ketika anak menanyakan sesuatu, saya sibuk balas wa, scrolling IG atau hanya sekadar ngecek notifikasi. Lagi lagi ketidakkonsistenan ini sedang membunuhku secara perlahan (ok, ini lebay dotcom). Apa yang terjadi jika kelak dia membalas perbuatan saya dengan tidak mengacuhkan saya? Sakit kakaakk sakiiitt..

Akhirnya, dengan kekuatan bulan saya memaksakan diri lebih keras membatasi pegang hp kecuali ketika anak tidur atau ketika sedang mengabadikan momen gemas bersamanya.
Kalau ada yang penting silakan telpon. IG bisa menunggu, update status bisa nanti. Selain itu hp ditaruh diatas lemari jauhkan dari jangkauan anak kecil dan emaknya. 😁

Sampai di situ apakah puasa HP sudah membuat saya merasa lebih baik? Ohh tentu tidak Rosalinda, ingat, masih ada televisi 😫  Mainan edukasi vs tv, ibu mana yang ga pernah melalui prahara ini? Hebat, kalian luar biasa.
Ibu ibu yang punya anak di bawah dua tahun mungkin bisa lebih memahami bahwa tidak semua mainan edukasi bisa langsung diterima oleh anak, apalagi untuk anak yang masih berusia dibawah 2 tahun, energinya sedang luar biasa besar dan rentang konsentrasinya juga relatif lebih pendek. Alhasil mainan edukasi hanya sebagai barang baru untuk dilemparkan. Kalau itu terjadi saat mood kita sedang bagus, ga masalah, stok sabar masih banyak. Tetapi masalahnya, tentu ada momen ketika hari terasa berat, emosi tidak stabil, jiwa dan raga terasa lelah dan hanya tv yang bisa menyelamatkan. Saya tahu banyak ahli dan psikolog anak yang sudah meneliti bahaya tv jika terlalu sering, tapi adakah yang meneliti jika ibu yang merasa lelah tapi tetap memaksakan idealisme teori dengan kenyataan di lapangan akan baik baik saja? Saya rasa ibu yang capek lebih bahaya daripada anak nonton tv 30 menit demi rehat ibu sebentar supaya kembali fresh dan hepi.

Ujung-ujungnya sih kalau ngomongin soal konsistensi kita ngomong soal proses. Semua kembali pada proses masing-masing pasangan ibu dan anak. Karena setiap anak berbeda, setiap ibu juga berbeda. Ga semua yang ada di buku parenting itu bisa diaplikasikan di lapangan. Sebagai panduan iya, tapi jangan dijadikan sebagai satu-satunya patokan dalam mendidik anak. Bukankah jika terlalu sempurna kita malah melupakan proses yang menyenangkan itu? Jangan sampai di akhir hari nanti kita hanya dipenuhi rasa kecewa alih alih kenangan yang menyenangkan bersama anak saking terobsesinya kita pada cara mendidik anak yang sempurna.

Komentar

Postingan Populer