Free, Jump, Laugh and be Married

Free, jump, laugh and be married. Ini adalah kalimat yang saya tulis untuk hiasan di mug suvenir pernikahan saya. Kata-kata tersebut saya pilih karena itu representasi dari diri saya. Saya yang masih remaja, menginjak dewasa awal kemudian dewasa menjelang menikah.

Saat itu saya merasa kebebasan adalah sesuatu yang sangat prinsip. Hak asasi manusia salah satunya menurut saya ya menjadi orang yang bebas. Bebas berkreasi, berekspresi, bebas menyampaikan pendapat dan bebas untuk menentukan pilihan hidup. Termasuk pernikahan yang merupakan pilihan hidup yang keputusannya tidak bisa diambil dalam satu malam atau ketika mood sedang bagus atau jelek. Keputusan tentang menikah atau tidak, menikah muda atau menikah tua (umur 30 ke atas) adalah keputusan yang memerlukan banyak pertimbangan

Saya pernah ditanyai oleh keponakan jauh saya, dia perempuan dan waktu itu dia masih semester lima. Dia tanya, "kenapa sih tante menikah di umur 30?" -Waktu itu saya berumur 30 dan mau menikah.
Sebagai tante yang defensif, saya tanya balik dong, "kenapa nanyanya gitu? Kamu pengen menikah muda kah?"
Trus dia jawab, "iya, karena saya pengen ketika anak saya udah gede saya masih muda dan cantik."

Waarrrbyasak, pemikiran itu muncul dalam diri mahasiswi semester 5! Apa kabar dengan aku yang udah kepala tiga?
Hmmm masuk akal juga sih dan baru sekarang  aku menyadari salah satu manfaat menikah muda. Ehm..excuse me sist..gimana ga nyadar, anak masih batita aja penampilan udah klombrott bak umur 40 an, kalo totalitas ngurus anak lho, no baby sitter, no orangtua, no mertua. Maka akan terjadi penuaan dini *antiagingmanaantiaging

Anyway, setelah keponakanku itu memberikan alasan ringannya, tiba tiba terjadilah serangan pertanyaan panik tentang pernikahan waktu itu. Hal hal yang berkaitan dengan apa yang aku tunggu dan apa yang aku kejar, apa yang bikin aku ragu, apa yang kutakuti? Apakah aku sudah yakin atau masih ragu. Saya yakin pertanyaan pertanyaan itu muncul hampir di setiap perempuan yang sudah berada di usia layak menikah.

Persoalan menikah muda atau menikah tua (usia 30 tahun ke atas) memang selalu seru untuk dibicarakan, persoalan klasik tapi selalu kekinian untuk dibahas, perdebatannya ga akan ada habisnya.
Tapi disini saya ga akan bicara tentang plus minus nya. Saya mau bicara tentang seberapa siap mental perang kita? Hehehehe..you know, because marriage is a giant rollercoaster with no way to return or exit :) sudah siap? Cekidot..

Gini ya, untuk membantu memantau kesiapan mental perangnya, saya kasih kisi kisinya aja karena detailnya tergantung pada individu masing masing pasangan.

1. Komitmen

Ya, komitmen, komitmen dan komitmen. Jangan pernah lelah dan bosan untuk selalu ingat pada kata kunci yang satu ini.
Menikah itu awalnya aja cinta yang menggebu-gebu, hati berdebar, keringat dingin dan histeris saat bertemu pasangan, selanjutnya semakin kesini yang tersisa adalah komitmen dari awal sampai akhir sampai maut memisahkan. Saya tidak bilang bahwa hal yang menggetarkan itu tidak boleh atau hilang sama sekali, kalau mau diusahakan ya bisa, hanya saja tidak semua orang mau dan bisa mengusahakannya, karena semua terjadi begitu saja secara natural, dan lagi lagi kembali ke pribadi masing masing pasangan.

Komitmen disini bukan komitmen yang membabi buta loh ya, bukan komitmen yang meskipun pasangan KDRT atau selingkuh kita tetep aja demi komitmen bersama, oh tentu tidak, ini bukan komitmen yang seperti itu. Ini adalah komitmen yang udah ada perhitungannya. Cara ngitungnya gini, misal: kenali calon suami kamu baik2 dari kebiasaannya, hubungan dia sama orangtua, teman dan sodaranya gimana, cara dia memperlakukan ibunya seperti apa, cara dia mengambil keputusan gimana, kasar atau ga. Kalo waktu pacaran kamu merasa dia kasar ya jangan diteruskan. Karna kita ga bisa berkomitmen dengan orang yang kasar verbal dan fisik. Jangan pernah berpikir ah nanti dia bisa berubah, apa yang ada sebelum nikah akan tetap ada setelah menikah. Apa yang gak ada sebelum menikah akan tetap gak ada setelah menikah.

Komitmen adalah kunci untuk semua jenis hubungan. Komitmen itu seperti garis batas imajiner dengan hati nurani sebagai alarmnya. Jika garis batas itu dilanggar maka hati nurani lah yang akan berteriak gelisah. Komitmen menguatkan kita untuk tetap setia dengan pasangan walau apa yang terjadi. Satu lagi, komitmen adalah musuh besar si ego. Jika ego menang, komitmen kalah. Jika ego kalah, otomatis komitmen yang menang. Tapi ga kaku kaku gitu juga, masih ada batas toleransinya kok semua menyesuaikan kondisi di lapangan. Masih ada komunikasi si penolong abadi dalam pernikahan. Akan dibahas dalam poin selanjutnya.

2. Komunikasi
Sejak kecil kita diajari untuk berbicara, berkomunikasi. Bahkan bayi dalam kandungan pun sudah bisa diajak berkomunikasi. Tapi ilmu komunikasi itu benar benar kita pergunakan saat menikah.
Cara kita berkomunikasi dengan teman, orangtua, saudara dan sahabat itu berbeda dengan cara kita berkomunikasi dengan pasangan. Bicara dengan pasangan, menyampaikan sesuatu kepadanya harus straight to the point, ga bisa kita tuh jadi cewek cewek pemalu. Kalau ngomong harus gamblang, suami itu bukan ahli kode, bukan pula ahli nujum yang bisa nebak isi hati kita. Kalau marah bilang marah, kalau ga suka bilang ga suka.

Berbeda ketika kita berbicara dengan orang lain, ga masalah jika kita ga mau menegur dan bilang blak blak an kalau kita ga suka. Ga masalah kalau mereka menyebalkan dan kita diam karna ga enak mau menegur. Mereka tetap orang lain yang sesekali aja ketemu sama kita. Lah kalau suami, satu satunya orang yang akan bersama dengan kita sampai akhir hayat tapi kita ga mampu berkomunikasi dengan baik dengannya, itu namanya bikin gunung berapi dalam hati. Kelihatannya tenang, nanti kalo udah ga kuat, dipicu hal sepele pun akan berakibat fatal.

Jadiii, belajar komunikasi yang baik, belajar bicara yang jelas, hilangkan jaim, malu apalagi gengsi. Udahan yaa kode kodeannya yang selama pacaran dipakai setelah menikah hempaskan jauh menjulang ke laut kata inces. Intinya, kalau komunikasinya baik maka akan baik pula cari solusinya jika terjadi masalah.

3. Menikah itu kerja keras dan kerja sama.
Kerja keras aja tanpa kerja sama antar pasangan ga akan bisa bertahan lama. Yang ada salah satu merasa capek, lelah dan akhirnya menyerah. Dibutuhkan tenaga ekstra untuk bisa setia menjaga komitmen. Mental yang kuat untuk bisa sabar menahan emosi menghadapi perubahan perubahan (karna sebelum dan setelah menikah itu perubahannya drastis!). Fisik dan mental harus setrong ketika menikah apalagi jika langsung punya anak.

Untuk tidak setia, untuk menjadi pemarah, untuk menjadi pemurung dan merasa diri paling menderita setatasurya itu gampang, pemalas pun bisa melakukannya.
Tapi untuk tetap bersinar, tetap berpikiran positif, tetap tegar, tetap sabar, tetap setia dan tetap bangkit meskipun banyak alasan untuk mengatakan tidak, dibutuhkan kerja yang sangat keras.

Seorang pemarah, saya yakin dia tidak terlahir sebagai seorang pemarah. Mungkin perjalanan hidupnya yang bikin dia seperti itu plus dia membiarkan dirinya dikuasai oleh si marah. Bukannya ga boleh marah, tapi dibutuhkan kerja keras untuk bisa berpikir seberapa besar marahnya, penting apa ga kalau jadi marah, hal yang bikin kita marah sekarang apakah sama berartinya nanti seminggu, sebulan, setahun, sepuluh tahun yang akan datang.
Seperti itulah kira kira gambaran kerja keras yang dibutuhkan untuk menjadi pribadi yang acceptable, tolerable dan lovable dalam sebuah pernikahan. Juga dengan kemampuan untuk bekerja sama, feedback seperti apa yang ingin kita berikan ke pasangan. Itu semua penting dan ga bisa dihindari salah satu. Karena apa yang kita ukurkan untuk orang lain akan diukurkan juga untuk kita.

4. Pernikahan adalah tempat kita latihan jurus pengendalian diri tiada henti. Ego, keinginan, impian, yang sebelumnya meluap luap,sekarang harus dikendalikan, bukan dihilangkan, tapi dikendalikan tentu dengan ilmu tinggi :)

Misalnya gini, tidak semua orang ya diberkati dengan hidup enak setelah menikah. Mungkin ada yang harus menumpang di rumah mertua atau mungkin ada yang harus resign dari pekerjaan impian karna harus mengikuti suami ke luar kota. Ada juga karena kesulitan ekonomi rela menderita karna suami ga mau merepoti orangtua dan mertua. Pokok intinya semua prinsip yang selama ini dipegang erat dengan aji aji "jangan sampai terjadi padaku" saya yakin akan dihadirkan satu persatu secara mengejutkan. Prinsip yang menjunjung tinggi ego tampaknya dipaksa luruh oleh keadaan. Sound familiar? Hehehe...mungkin disitulah letak tantangannya.
Mengendalikan ego itu ga gampang, tapi hasilnya layak untuk diperjuangkan. Dan pernikahan adalah tempat perjuangan pengendalian ego. Sebenarnya untuk apa sih segitu amat ego harus dikendalikan? Sebab kalau tidak, jalannya pernikahan ga akan terkendali. Bayangkan kapal dengan dua nahkoda, seperti itu sudah. Kapal oleng kapten! Byurrr tenggelam bye bye.
Kebahagiaan yang ditukar dengan ego itu juga sama mendasarnya dalam hati.

Intinya menikah memang ga gampang, begitu juga dengan kesepian.
Tidak menikah memang menggiurkan dengan segala kebebasannya tapi siapa yang tahu mencekamnya rasa kesepian ketika satu per satu orang di sekitarnya menghilang sibuk dengan kehidupan mereka masing masing, yaitu keluarga.

Ga akan terasa berat klo kita benar benar mencintai pasangan dan akan tambah dikuatkan lagi ketika si kecil lahir, melihat anak semurni itu dan selucu itu masa ga mau diperjuangkan sampai titik darah penghabisan?

Komentar

Postingan Populer