Ksatria dan Baju Zirah
Di sudut ruangan ini segala daya dan upaya sebagai seorang anak manusia ia tanggalkan. Hanya ini hal terakhir yang bisa ia lakukan ketika semuanya tampak blur, tidak jelas, tidak ada kekuatan, tidak ada sorak kemenangan, tidak ada bunyi terompet megah, tidak ada tawa di sudut bibir yang kering.
Dimanakah semua kekuatan para dewa yang dulu pernah ada? Kemanakah perginya semua baju zirah dan pedang yang ditempa dalam api abadi?
Ini jelas bukan pertempuran yang pertama bukan juga pertamakalinya kekalahan menunjukkan taringnya yang tajam.
Kekalahan demi kekalahan dalam semua pertempuran sebelumnya dengan gagah berani ia tanggung layaknya ksatria dengan kuda sembrani. Meski lukanya menghabiskan seumur hidup untuk menyembuhkan, namun segalanya akan baik-baik saja seiring dengan terbitnya matahari karena itu semua bukan pertempuran yang ia pilih.
Ketika seorang ksatria menyadari bahwa ia sedang bertempur di medan pertempuran yang secara sadar ia pilih, ia akan mengerahkan semua energi, daya dan upaya untuk memenangkannya. Ia akan menyiapkan semua keperluan perang dengan sangat hati-hati, ia akan menggosok semalam suntuk baju zirah yang akan dipakai. Pedangnya akan diberi minyak terbaik dan diasah dengan pengasah pedang terbaik. Kudanya diberi makan dengan makanan kuda terbaik, rumput hijau yang tidak tercemar samasekali. Namun ketika kekalahan menghempaskannya keluar dari medan pertempuran yang ia pilih, sang ksatria akan menderita luka yang bahkan ia sendiri tidak sanggup merasakannya.
Ia mungkin akan duduk, diam dan merasakan kesakitan yang teramat dalam. Sejenak mungkin ia akan meninggalkan medan itu dan menyaksikan dari kejauhan apa yang terjadi di medan itu. Tapi ia tidak akan menyerah, karena itu adalah medan pertempuran yang ia pilih dengan bebas dan gagah berani. Musuhnya boleh saja mengira bahwa ia sedang terkapar dalam kekalahan. Tapi, suatu saat ia pasti akan kembali dengan baju zirah, pedang dan kudanya. Kembali bertempur di medan yang ia pilih, meski kekalahan sedang menunggunya di ujung lapangan. Tetapi ksatria tetaplah ksatria, ia akan maju bertempur dan mengerahkan semua yang ia miliki. Kekalahan mungkin akan terus ada, tapi seorang ksatria tidak akan mundur begitu saja. Ia adalah seorang ksatria yang membuktikan bahwa musuhnya memilih lawan yang salah karena ia takkan menyerah.
Dimanakah semua kekuatan para dewa yang dulu pernah ada? Kemanakah perginya semua baju zirah dan pedang yang ditempa dalam api abadi?
Ini jelas bukan pertempuran yang pertama bukan juga pertamakalinya kekalahan menunjukkan taringnya yang tajam.
Kekalahan demi kekalahan dalam semua pertempuran sebelumnya dengan gagah berani ia tanggung layaknya ksatria dengan kuda sembrani. Meski lukanya menghabiskan seumur hidup untuk menyembuhkan, namun segalanya akan baik-baik saja seiring dengan terbitnya matahari karena itu semua bukan pertempuran yang ia pilih.
Ketika seorang ksatria menyadari bahwa ia sedang bertempur di medan pertempuran yang secara sadar ia pilih, ia akan mengerahkan semua energi, daya dan upaya untuk memenangkannya. Ia akan menyiapkan semua keperluan perang dengan sangat hati-hati, ia akan menggosok semalam suntuk baju zirah yang akan dipakai. Pedangnya akan diberi minyak terbaik dan diasah dengan pengasah pedang terbaik. Kudanya diberi makan dengan makanan kuda terbaik, rumput hijau yang tidak tercemar samasekali. Namun ketika kekalahan menghempaskannya keluar dari medan pertempuran yang ia pilih, sang ksatria akan menderita luka yang bahkan ia sendiri tidak sanggup merasakannya.
Ia mungkin akan duduk, diam dan merasakan kesakitan yang teramat dalam. Sejenak mungkin ia akan meninggalkan medan itu dan menyaksikan dari kejauhan apa yang terjadi di medan itu. Tapi ia tidak akan menyerah, karena itu adalah medan pertempuran yang ia pilih dengan bebas dan gagah berani. Musuhnya boleh saja mengira bahwa ia sedang terkapar dalam kekalahan. Tapi, suatu saat ia pasti akan kembali dengan baju zirah, pedang dan kudanya. Kembali bertempur di medan yang ia pilih, meski kekalahan sedang menunggunya di ujung lapangan. Tetapi ksatria tetaplah ksatria, ia akan maju bertempur dan mengerahkan semua yang ia miliki. Kekalahan mungkin akan terus ada, tapi seorang ksatria tidak akan mundur begitu saja. Ia adalah seorang ksatria yang membuktikan bahwa musuhnya memilih lawan yang salah karena ia takkan menyerah.
Komentar
Posting Komentar