a Cup of Honey and Cinnamon Tea
Dengan ukuran apakah kebahagiaan seseorang bisa ditentukan? Tidak bisakah seseorang berbahagia dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, tidak bisakah seseorang merasa bahagia hanya karena ia memutuskan untuk bahagia? mengingat bahwa ukuran kebahagiaan itu absurd. Tidak cukupkah seseorang merasa bahagia dengan secangkir teh hitam ditambah madu dan kayu manis?
16:57, empat menit menuju waktu pulang. Perjuangan hidup selama satu hari penuh sudah berada pada ujung meja perjamuan, sudah siap untuk dipersembahkan kepada Yang Abadi dengan segala kekurangan, kelebihan, suka dan dukanya termasuk pergulatan batin yang terjadi di dalamnya. Pergulatan dari batin yang tidak tenang menyaksikan ketidakbahagiaan terjadi disekelilingnya, pergulatan batin yang terus menerus tersiksa karena harus menyaksikan banyak penderitaan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Penderitaannya, penderitaan orang yang dikasihinya, penderitaan orang yang dilihatnya, di jalan, di perempatan, di bawah jembatan semua menjadi satu dalam pergulatan abadi tanpa tahu pasti kapan akan berhenti.
Sepintas ia melihat anak kecil dalam gendongan ibunya yang lusuh, di bawah terik matahari yang menyengat. Sungguh penderitaan yang taktertahankan, anak sekecil itu harus berjuang bersama ibunya melawan polusi, panas matahari dan ketidakpedulian sosial.
Dalam dimensi yang lain, ia melihat kekasih yang remuk hatinya karena kekasih yang dicintainya pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Atau seorang anak yang tidak minta dilahirkan harus menjadi kambing hitam atas ketidakbahagiaan pernikahan kedua orangtuanya.
Semua kesedihan itu menjadi bagian dari kesedihannya sendiri. Kesedihan terdalamnya, kesedihan karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk membuat segalanya menjadi sedikit lebih baik. Pertanyaan kepada Yang Abadi pun tak terelakkan, kenapa Yang Abadi mengijinkan hal itu terjadi? Kenapa aku harus melihatnya? apa yang harus dilakukan untuk membuat segalanya menjadi lebih baik?
Tidak cukupkah seseorang berbahagia dengan secangkir teh madu dan kayu manis? Sehingga ia lebih punya banyak waktu untuk lebih mempedulikan sesama tidak sibuk dengan blackberry, tablet PC dan mengejar hal-hal duniawi, harta, kepopuleran, eksistensi di situs jejaring sosial dan kekuasaan? Ya, semua itu memang penting, tidak bisa dipungkiri bahwa semua itu penting, tapi apakah itu satu-satunya alat ukur yang menentukan seorang manusia itu bahagia atau tidak?
Tidak cukupkah seseorang berbahagia dengan secangkir teh madu dan kayu manis? Sehingga ia tidak perlu menggantungkan kebahagiaannya kepada seseorang yang juga berdarah dan berdaging.
Kebahagiaan itu sederhana, sesederhana membuat teh hitam dengan madu dan kayu manis.
16:57, empat menit menuju waktu pulang. Perjuangan hidup selama satu hari penuh sudah berada pada ujung meja perjamuan, sudah siap untuk dipersembahkan kepada Yang Abadi dengan segala kekurangan, kelebihan, suka dan dukanya termasuk pergulatan batin yang terjadi di dalamnya. Pergulatan dari batin yang tidak tenang menyaksikan ketidakbahagiaan terjadi disekelilingnya, pergulatan batin yang terus menerus tersiksa karena harus menyaksikan banyak penderitaan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Penderitaannya, penderitaan orang yang dikasihinya, penderitaan orang yang dilihatnya, di jalan, di perempatan, di bawah jembatan semua menjadi satu dalam pergulatan abadi tanpa tahu pasti kapan akan berhenti.
Sepintas ia melihat anak kecil dalam gendongan ibunya yang lusuh, di bawah terik matahari yang menyengat. Sungguh penderitaan yang taktertahankan, anak sekecil itu harus berjuang bersama ibunya melawan polusi, panas matahari dan ketidakpedulian sosial.
Dalam dimensi yang lain, ia melihat kekasih yang remuk hatinya karena kekasih yang dicintainya pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Atau seorang anak yang tidak minta dilahirkan harus menjadi kambing hitam atas ketidakbahagiaan pernikahan kedua orangtuanya.
Semua kesedihan itu menjadi bagian dari kesedihannya sendiri. Kesedihan terdalamnya, kesedihan karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk membuat segalanya menjadi sedikit lebih baik. Pertanyaan kepada Yang Abadi pun tak terelakkan, kenapa Yang Abadi mengijinkan hal itu terjadi? Kenapa aku harus melihatnya? apa yang harus dilakukan untuk membuat segalanya menjadi lebih baik?
Tidak cukupkah seseorang berbahagia dengan secangkir teh madu dan kayu manis? Sehingga ia lebih punya banyak waktu untuk lebih mempedulikan sesama tidak sibuk dengan blackberry, tablet PC dan mengejar hal-hal duniawi, harta, kepopuleran, eksistensi di situs jejaring sosial dan kekuasaan? Ya, semua itu memang penting, tidak bisa dipungkiri bahwa semua itu penting, tapi apakah itu satu-satunya alat ukur yang menentukan seorang manusia itu bahagia atau tidak?
Tidak cukupkah seseorang berbahagia dengan secangkir teh madu dan kayu manis? Sehingga ia tidak perlu menggantungkan kebahagiaannya kepada seseorang yang juga berdarah dan berdaging.
Kebahagiaan itu sederhana, sesederhana membuat teh hitam dengan madu dan kayu manis.
Komentar
Posting Komentar