Pemilu Di Mata Buibuk

Mengapa saya memilih untuk tidak golput?  Bukan karena memilih supaya terlihat keren, kelingking ungu di upload ke Instagram, bukan juga karena saya fans garis keras salah satu paslon. Tapi saya memilih, karena saya punya anak. Lho kok bisa? Apa hubungannya? Berikut penjelasannya, duduk manis sediakan kopi, selamat membaca :)

Sebagai orangtua saya sadar saya harus meninggalkan sesuatu untuk anak saya, sebuah warisan. Bentuk warisan itu salah satunya adalah kerelaan hati untuk memberikan diri kepada masyarakat sebagai tanda kontribusi nyata dalam rangka pembentukan sejarah dan budaya.

Golput memang sebuah hak, tidak memilih itu pilihan mereka bilang. Terus ada juga yang bilang demokrasi itu bukan untuk memilih yang terbaik tapi mencegah yang buruk berkuasa. Nah kalau saya coba gabungkan, jadinya saya analogikan seperti ini: tidak memilih adalah hak, oke saya paham, tapi bukankah seperti itu sama aja kayak melihat kejahatan di depan mata tapi kita diam, cuek, apatis dan bodo amat. Diam aja melihat kejahatan bukannya sama dengan melakukan tindak kejahatan? Bener ga sih? Atau analogi saya keliru?

Balik lagi ke alasan semula, memilih buat saya adalah kewajiban moral yang harus saya penuhi karna jika tidak, akan mengganggu hati kecil saya dan itu ga enak rasanya, ngganjel gitu.
Iya memang benar ga akan ada yang berubah dengan kita memilih siapa, toh nasi masih nyari sendiri, kalau pengen kaya juga masih harus kerja keras, tapi kan kalau menunggu pemimpin yang sempurna, waduh, keburu semua orang pindah ke planet Mars :))

Selain tanggungjawab moral, saya pengen kasih tahu anak bahwa kita itu hidup di tengah-tengah masyarakat. Maka jadilah bagian dari masyarakat itu, dengan berpartisipasi aktif dan dengan memilih menunjukkan kalau kita itu optimis dengan adanya perubahan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi disadari atau tidak apa yang kita terima dan yang tidak kita terima sekarang itu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh para pemimpin yang kita pilih-atau tidak- lima, sepuluh tahun yang lalu. Jadi, masih mikir milih ga milih keadaan akan tetap?
Begini, saya kasih contoh konkretnya:

Lagi lagi tentang anak. Saya mau dia tumbuh di lingkungan yang mendukung dia untuk menjadi apapun yang dia mau. Mari kita mulai dari awal sekolah, kurikulum di sekolah, siapa yang bikin? Pemerintah, yang memutuskan besaran biaya, bantuan-bantuan dan penyediaan fasilitas? Pemerintah juga. Lanjut hingga nanti seandainya dia ingin menjadi penemu teleportasi, apakah ini akan didukung atau tidak juga dari pemerintah yang bikin kebijakan. Jadi semuanya saling berhubungan.

Siapapun yang kita pilih nanti pasti akan ada kekurangannya, namanya juga manusia. Ingat nasehat Bunda Dorce ya kesempurnaan hanya milik Tuhan :). Kalaupun ada kekurangannya, perbaiki secara masif jika memang dipercaya untuk melakukan tugas besar itu. Tapi jika kepercayaan yang diberikan dalam skala kecil bahkan mikro bahkan mungkin ga terlihat, lakukan. Jangan menunggu pemimpin yang melakukan. Dengan melakukan perbaikan-perbaikan kecil kita ikut bertanggung jawab dengan pilihan kita. Perbaikan kecil satu orang dikali se-Indonesia? Bayangkan.

Komentar

Postingan Populer