Betah di Rumah

Judul diatas sebenarnya adalah ungkapan lain dari pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga full time. Saya memang tipe orang yang betah di rumah, dibandingkan bila diajak keluar rumah untuk sekadar ngobrol di kafe, saya lebih memilih kenapa tidak ngobrol di rumah saja modal kopi sachet-an bisa ngobrol sampai puas berbusa busa 😁

Betah di rumah ketika masih single itu berasa seperti di surga, damai tenang dan menghanyutkan (maksudnya bisa seharian terhanyut dalam kenangan dan impian yang ngelantur kemana-mana) bisa sambil leyeh-leyeh ditemani buku dan secangkir kopi ala ala gambar di Pinterest atau bisa juga masak- masak (padahal cuman indomie), bisa nonton maraton drama korea (karna abis ngopy dari teman sekantor) atau yang paling tidak mungkin dan ini terjadi hanya jika bumi bulan dan matahari sejajar adalah olah raga, yoga atau olah raga tanpa alat yg bisa diakses bebas di youtube.

Tapi, ketika konsep betah di rumah itu diterapkan setelah menikah apalagi kalau langsung  punya anak, itu rasanya....wait...what?? Maka akan muncul banyak pertanyaan baik yg ditanyakan oleh orang lain maupun yg ditanyakan diri sendiri. Yang ditanyakan secara langsung dan tidak langsung alias rasan-rasan. Tapi intinya pertanyaannya itu sama, kurang lebih seperti ini:
Memang sebetah itu kamu tinggal di rumah seharian 24/7 mengurus anak dan suami? Ga jenuh? Ga kangen masa masih kerja kantoran dulu? Ga kangen bisa jalan kemana aja kapan aja tanpa ada yang nggelandotin?

Yaampun..itu pertanyaan apah? Menggelitik dan menyakitkan sekali, tentu saja aku kangen, gile aje..jelek jelek gini saya juga masih normal woy..
Tentu saja saya kangen dengan masa-masa itu, masa-masa dimana saya adalah seorang militan yang totalitas terhadap perusahaan, kerja lembur sampai malam, sabtu minggu masuk ayok. Sementara di sisi lain untuk menyalurkan jiwa sosial saya, saya ikut ajakan menjadi relawan entah untuk mengajar anak jalanan atau sekadar ikut membagikan nasi bungkus ketika bulan puasa tiba atau menjadi relawan panitia buka bersama anak panti asuhan. Iya sesemangat dan seidealis itu saya dulu. Iyaa duluuu. Sekarang, pergi ke indomaret seberang komplek aja kayak mau pergi ke jalur gaza, ditangisin sama anak sampe segitunya. Yaampun naaakk ibu cuman mau belanja bukan mau ngetes ranjau.

Sekompleks itulah perbedaannya, banyak banget? Enggaak..bedanya ga banyak kok, cuman ekstrem ajah. Dari yang single ke membelah diri, yaaa cukup ekstrem lah.

Lalu dengan perubahan se-ekstrem itu apa kabar dengan statement betah di rumah? Tentu kabar baik, hanya saja masih ada hari-hari yg ngeselin itu.
Hari-hari dimana saya merasa kehilangan kepercayaan diri karena teman-temanku banyak yang masih bekerja walaupun sudah menikah dan punya anak. Ada hari dimana saya merasa diri sangat mbangbyuk (ini istilah jawa untuk menggambarkan rambut kusut, wajah surem, baju yg dikenakan itu itu aja cuci kering pakai) , merasa diri seperti tak tampak (invisible woman) karna sepertinya menjadi ibu rumah tangga hari gini itu masih dianggap sebelah mata, jadi karna diliatnya sebelah mata jadi ya ga keliatan di kehidupan sosial, dianggap tidak penting dianggap tidak berpengaruh dan yaaa dianggap ga keren lah intinya. Entah itu hanya perasaan saya sendiri atau kenyataan memang begitu adanya, intinya kan sama. Pemikiran tentang menjadi ibu rumah tangga yg seperti itu saya menyebutnya, jahat (ekspresinya kayak cinta ngomong ke rangga).

Menjadi ibu rumah tangga ga seburuk itu kok, disisi lain menjadi ibu bekerja di luar juga ga sekeren itu. Masing-masing tentu ada tantangannya, wang sinawang. Pilih tantangan yang mana yang dirasa kuat untuk dijalani.

Kalau saya, memang dulu sebelum menikah dan punya anak, saya ingin bekerja di rumah saja, punya usaha sendiri sambil mengasuh anak. Dengan alasan karna saya ga mau anak saya  memiliki karakter pengasuhnya. Saya mau memastikan semua aman untuk anak saya, makanannya, tempat bermainnya, tontonannya dan lingkungannya. Sampai ketika hari itu tiba dan Tuhan benar-benar mengabulkan keinginan saya. Begitu lahir anak pertama, saya langsung berhenti bekerja. Ini berarti selama 21 bulan ini saya full mengurus anak 24/7.
Dari yang bebas bergerak sekarang menjadi terbatas. Dari yang penuh spontanitas sekarang menjadi banyak mikir.

Perubahan ini tak jarang membuat saya kewalahan dan stres sendiri dan rasanya seperti mau menyerah saja. Tapi kemudian saya ingat kalau saya menyerah lalu anak bagaimana? Kalau saya menyerah, pertanggungjawaban saya di hari penghakiman nanti seperti apa? Akan saya jawab apa jika ditanya apa yg sudah kamu lakukan untuk anakmu? Masa saya jawab, saya tinggal nonton drakor maraton? Saya tinggal baca buku minum kopi selimutan? Kan ga lucu ya.

Jadi, pelan-pelan saya menata hati dan pikiran mengingat kembali tujuan awal memilih jalan ini. Sambil berdoa dan terus berdoa, karna hanya itu yang bisa saya lakukan untuk menjaga kewarasan tetap di level aman. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan:
1. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti berhenti untuk bermimpi. Mimpi yang dulu ada ketika masih gadis, masih sangat boleh untuk dikejar. Kejar terus jangan kasih kendor. Hilangkan kata TAPI ganti dengan MESKIPUN. Contoh: saya ingin membuka kafe TAPI saya masih ribet dengan anak. Ganti dengan ini: MESKIPUN saya ribet dengan anak yang masih kecil, saya bisa mewujudkan mimpi saya. Menjaga antusiasme dalam mengejar impian tentu bukan perkara yang mudah, nanti akan saya bahas di tulisan berikutnya.

2. Saya ibu rumah tangga dan saya tetap bisa tampil keren, caranya ya menjadi ibu rumah tangga yang produktif, yang selalu berpikiran positif terbuka dan maju. Jangan pasrah dengan keadaan. Jangan mau diintimidasi oleh diri sendiri. Keren itu bergerak, produktif dan aktif.

3. Menjadi ibu rumah tangga tidaklah sulit jika mau melepaskan ego yang segede gaban ini. Banyak wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga dengan berbagai macam pertimbangan. Awalnya mudah tapi lama kelamaan karna dihantam rasa bosan, tidak bisa dipungkiri kalau ego itu mulai muncul. Keinginan untul tampil keren,keinginan untuk bisa membiayai keperluan pribadi, keinginan untuk bisa membantu suami mencari nafkah,keinginan untuk bersosialisasi, secara alamiah itu akan muncul.
Ini tidak mudah karna ego yang muncul itu akan membuat kita merasa menjadi orang yang tidak berguna.
Padahal hal hal kecil yang kita lakukan sehari-hari yang tampaknya sederhana itu jika dilakukan berulang ulang dengan cinta yg besar, akan bermakna besar.
Berhenti melihat apa yang orang lain lakukan. Tugas Tuhan untuk Anda berbeda dengan tugas Tuhan untuk orang lain.
Lakukan apa yg ada didepan, lakukan hal hal kecil yang sederhana itu. Karena hal hal kecil yang kita lakukan itu sudah ada yang memperhitungkan.
Semoga apapun yang kita impikan menjadi kenyataan. Amin.

Disclaimer: tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan ibu yang bekerja di luar rumah. Semua ibu adalah ibu yang hebat. Anda dan saya, kita semua hebat dan keren. Kerja di luar atau di dalam rumah adalah soal pilihan hati dengan anak sebagai pertimbangan utamanya. Ini hanya sekadar tulisan yang siapa tahu bisa memberikan pandangan lain untuk ibu-ibu rumah tangga di luar sana yang mungkin mulai merasa kehilangan jati dirinya. Tetap semangat ibu! Nasib satu generasi ada di tangan kita 😊

Komentar

Postingan Populer