Tentang Minimalism

Di dunia ini ada banyak nilai yang bisa dianut selain yang wajib (silahkan tentukan sendiri yang wajib itu apa saja). Ada nilai-nilai lain yang kalau dijalani bisa menambah kualitas dan atau mempermudah hidup kita. Nilai-nilai ini biasanya masuk kategori lifestyle. Lifestyle atau gaya hidup yang mau kita jalani ini sangat tergantung pada karakter masing-masing orang. Karakter yang terbentuk ini juga dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Intinya gaya hidup yang dijalani satu orang tidak bisa dipaksakan ke orang lain dan orang lain juga tidak bisa menilai gaya hidup seseorang itu baik atau buruk. Semua tergantung pada kebutuhan masing-masing individu.

Untuk saya, diantara semua jenis gaya hidup, saya lebih suka gaya hidup minimalis. Minimalis ya bukan minimabis. Dari dulu memang suka hal hal yang berkaitan dengan minimalis. Pemilihan dekorasi rumah a la Skandinavia, gaya berbusana, memilih fashion item pun seperti tas,sepatu dll selalu memilih yang simple, tdiak banyak aksesoris, tidak terlalu banyak warna dan bentuknya sederhana. Namun ternyata semakin kesini semakin menyadari bahwa hidup minimalis itu bukan tentang selera dalam memilih barang. Itu hanya permukaannya saja, mengandung separuh konsep tentang minimalis saja tidak.

Jadi, apa sih gaya hidup minimalis itu? Gaya hidup minimalis menurut versi saya ada dua macam, minimalism secara fisik (ketidak-terikatan kita terhadap semua jenis benda) dan minimalism dalam pola pikir (fokus berpikir pada pemenuhan kebutuhan dasar hidup). Minimalism adalah tentang bagaimana kita bisa hidup seminimal mungkin sesuai dengan kebutuhan hidup yang paling dasar supaya bisa memiliki ruang yang cukup luas untuk hal-hal yang penting dalam hidup, seperti hubungan dengan Sang Pencipta, dengan suami/istri dan anak/orangtua.

Dengan hanya fokus pada kebutuhan dasar, kita jadi lebih bisa berpikir hal2 apa saja yang perlu dan tidak perlu kita pikirkan . Kita tidak akan terikat secara emosional dengan barang. Karena barang hanyalah barang sampai kita memberi arti terhadap barang itu. Lagian kalau mau jujur, ketika kita membeli barang yang tidak kita butuhkan tapi membeli hanya karena kita mau, ini sebenarnya menunjukkan kebutuhan emosional yang mana seharusnya dipenuhi secara emosional bukan dengan barang. 
Memiliki barang yang sedikit, memaksa kita untuk berhadapan dengan sisi diri kita yang paling dalam dan mungkin gelap. Memaksa kita untuk mengenali diri sendiri, siapa kita tanpa barang-barang itu, siapa kita tanpa label barang yang kita pakai. Oh iya, salah alasan kenapa saya tidak suka ada label untuk semua yang saya pakai, adalah karena saya tidak mau menjadi papan reklame berjalan.

Di sisi lain, minimalism tidak hanya tentang meminimalisir barang-barang yang kita punyai. Meminimalisir barang hanya membantu kita untuk lebih bisa memfokuskan waktu dan energi untuk hal lain yang lebih penting. 
Karena yang paling penting dalam minimalism itu adalahminimalism dari segi mental dan pola pikir. Supaya punya pola pikir yang minimalis, rupanya kita harus belajar untuk melepaskan. Banyak yang bisa kita peroleh dengan melepaskan, salah satunya pikiran jadi lebih sederhana, tidak ruwet. Melepaskan masa lalu, melepaskan keinginan untuk mengendalikan, melepaskan harapan bahwa sesuatu akan terjadi sesuai dengan yang kita harapkan terjadi. 
Minimalism dalam berpikir membantu kita untuk jauh-jauh dari overthinking dan tidak fokus, yang mana kedua hal ini yang membuat saya tertarik untuk belajar menjadi seorang minimalist. 
Di titik kehidupan saya yang sekarang, saya yang sebagai seorang istri, ibu sekaligus pekerja wanita dengan banyaknya hal yang harus ditangani yang semuanya menjadi tanggungjawab saya, saya yang membuat rencana dan saya juga yang memastikan rencana itu berjalan dengan baik. Bisa dibayangkan, dengan banyaknya hal yang ada di tangan saya ini masih ketambahan hal-hal yang kontra produktif seperti overthinking dan tidak bisa fokus yang ujung2nya membawa pada rasa cemas berlebih, rasanya seperti lingkaran setan. Maka ini yang saya lakukan untuk mengucapkan selamat tinggal pada setan dan lingkarannya:

1. Batasi sosial media. Dunia sosmed itu berbeda dengan dunia nyata. Secara fisik jelas. Secara mental, dunia sosmed memiliki daya tarik/gravitasi yang sangat kuat, tapi kita tidak menyadari kalau kita ditarik masuk semakin dalam. Di dunia sosmed yang menjadi Tuhan adalah algoritma. Algoritma ini mengatur siapa yang akan kita temui, ketika kita tertarik akan satu hal, tuhan algoritma ini akan memberikan banyak pilihan untuk hal yang sama. Jadi habislah waktu untuk memilih mana yang cocok, sesuai dengan keinginan pertama kita. Selain itu di dunia sosmed perhatian adalah “sumber minyak yang baru”. Semakin banyak orang memperhatikan kita, semakin tinggi harga kita, tidak heran kenapa ada selebgram/youtuber receh yang lebih kaya dari guru honorer yang bekerja setulus hati. Dengan membatasi sosial media, hidup kita akan jadi lebih fokus pada hal-hal yang lebih mendasar. 

Namun, tentu saja ada kebaikan di dalam sosial media, saya juga orang yang belajar banyak dari sosial media, dari influencer-influencer tulus yang benar-benar memikirkan konten sebelum posting. Saya menemukan buku tentang minimalis ini juga dari sosmed. Ada batas yang sangat tipis tentang dunia sosmed yang bisa kita jadikan pegangan supaya ga katut ke dalam gravitasinya, yaitu perasaan cukup. Kalau kita sudah merasa cukup dengan apa yang kita punya saat ini, kekayaan, keindahan tubuh, kebahagiaan, intelektual, kita akan punya tenaga untuk menolak semua yang disajikan oleh media sosial. Rasa cukup adalah kuncinya.

2. Jangan menimbun barang, simpan hanya yang diperlukan dan dipakai sehari-hari. sebagus apapun teori menyimpan dan mengorganisir barang seperti Konmari method sekalipun, kalau dasarnya kita adalah penimbun, maka tujuan hidup minimalis tidak akan tercapai. Ingat kan? Kita hidup minimalis untuk memberi arti lebih pada apa yang benar-benar penting untuk kehidupan kita, jadi kalau barang-barang itu hanya dirapikan, esensi untuk melepaskannya menjadi tidak ada dan kita secara emosional, sentimental, masih terikat dengan barang itu.

3. Belajar untuk melepaskan. Disini belajar melepaskan kendali adalah yang utama. Tidak banyak yang bisa kita kendalikan, tapi kalau kita bisa fokus pada apa yang bisa dikendalikan, semua yang tak terkendali akan lebih mudah diterima. Melepaskan harapan, keinginan bukan berarti berhenti bermimpi. Hanya perlu disadari terlebih dahulu, bahwa di semesta raya ini kita tidak hidup sendirian. Apa yang kita terima saat ini adalah akumulasi dari kejadian-kejadian kecil di masa lalu. Seperti gelombang air laut, gelombang itu sampai di kita yang berdiri di pinggir pantai tidak terjadi begitu saja, ada gelombang-gelombang kecil lain yang memulainya, bergulung, menjadi besar, bergerak dan sampai ke kaki kita. Seperti itu, semua adalah tentang konsekuensi yang kita dan orang lain buat di masa lalu. Baik buruknya sekarang, ya itu kenyataannya. 

Tentang mimpi, mimpi selalu letaknya jauh di masa depan. Suatu saat kita juga akan sampai di titik itu, seperti gelombang air laut. Kita hanya perlu memikirkan langkah kecil dan tujuan2 kecil yang bisa kita capai dalam beberapa detik kedepan. Gambaran besar boleh kita buat, tapi jangan kelamaan menatapnya, kebahagiaan bukan disitu tempatnya. Tapi ada di tujuan2 kecil yang tercapai. Minimalism membantu untuk mencapai tujuan-tujuan kecil itu, dengan melepaskan keinginan untuk mengubah masa lalu dan melepaskan keinginan untuk menciptakan masa depan sesuai idealisme pikiran kita, kita jadi lebih fokus pada apa yang sekarang terjadi. Sesederhana ini, untuk bisa lari 10 km dan mencapai garis finish, kita hanya perlu fokus untuk meletakkan satu kaki di depan kaki yang lain.

4. Belajar untuk menerima, tidak semua hal kita harus tahu. Tidak semua hal harus kita ikuti. Dan tidak semua hal membutuhkan reaksi kita. Pilih hal yang mau kita kasih energi dan waktu kita. Dengan waktu dan energi yang terbatas serta banyaknya keinginan yang mau dicapai, membuat mau tidak mau harus ada bagian yang menyortir di otak. Bagian yang mengatakan, “ok ini cukup, ok yang ini tidak perlu, ok yang ini lanjut” ini perlu dilatih. Otak sebagai perangkat yang melakukan tugas itu, dengan kecenderungannya yang suka belok-belok dan tidak fokus, ditambah banyaknya distraksi, otak kesayangan ini juga perlu diarahkan. Caranya? Dengan meditasi. Meditasi sangat membantu, melatih otak kita untuk membentuk kebiasaan baru. Menganalisa kejadian sebelum memberikan reaksi. Menyortir hal yang kontra produktif dan ga sejalan dengan tujuan hidup, sehingga kita bisa fokus pada apa yang menjadi tujuan kita hidup.

Jadi, minimalism itu sedikit banyak adalah tentang kembali ke dasar. Kebutuhan dasar hidup kita itu apa, secara fisik, secara mental dan secara spiritual. Dan minimalism adalah gaya hidup yang mampu menarik kita kembali ke dasar ketika kita sedang berada dalam keadaan melayang, tidak menapak, tidak hidup secara utuh, dan merasa hampa karena kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi.





Komentar

Postingan Populer